Senin, 29 Mei 2017

OPINI: IPM RENDAH, KEMISKINAN BELUM TENTU TINGGI



OPINI

IPM RENDAH, KEMISKINAN BELUM TENTU TINGGI

IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dan Kemiskinan adalah dua hal penting yang tak dapat dipisahkan dalam mengukur keberhasilan pembangunan disuatu daerah. Berbagai macam cara dilakukan agar IPM tinggi sehingga angka kemiskinan akan rendah. Jika IPM tinggi dan kemiskinan rendah maka dapat dikatakan bahwa daerah tersebut pasti berhasil dalam pembangunan. Akan tetapi faktanya berbeda IPM yang rendah, kemiskinan belum tentu tinggi, why ?

IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam membangun kualitas hidup masyarakat. IPM dihitung berdasarkan rata-rata geometrik indeks kesehatan (Angka Harapan Hidup), indeks pendidikan (Angka Harapan Lama Sekolah dan Rata-rata Lama Sekolah), dan indeks pengeluaran (Pengeluaran Perkapita disesuaikan). Semakin sehat dan umur panjang hidup seseorang, pendidikan semakin tinggi, dan pengeluaran perkapita semakin besar maka IPM suatu daerah pasti juga tinggi. Orang pasti akan berfikir bahwa jika IPM suatu daerah rendah maka kemiskinan di daerah tersebut pasti tinggi karena kualitas hidup masyarakatnya rendah. Orang miskin cenderung kesehatannya rendah karena jika sakit tidak ada biaya untuk berobat, pendidikannya rendah karena tidak ada biaya untuk sekolah dan pengeluaran juga rendah karena tidak ada uang untuk berbelanja.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2015 IPM Kabupaten Tolitoli 62,72 berada diurutan ke-12 dari 13 Kabupaten/Kota Se Provinsi Sulawesi Tengah. Akan tetapi kemiskinan Kabupaten Tolitoli 13,64 persen berada diurutan ke-4 dari 13 Kabupaten/Kota. Jika dibandingkan dengan kabupaten lain misalnya kabupaten Poso IPMnya 68,13 berada diurutan ke-3, akan tetapi kemiskinannya 18,16 persen berada diurutan ke-12. Berbeda dengan kota palu IPM dan kemiskinan sudah sesuai yaitu IPM 79,63 paling tinggi se provinsi Sulawesi tengah sehingga berdampak pada angka kemiskinannya paling rendah yaitu 7,42 persen. Sehingga dapat kita ketahui bahwa tak selamanya jika suatu daerah IPMnya rendah maka kemiskinan juga akan tinggi. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hal tersebut. Di kabupaten Tolitoli masyarakat berpendidikan rendah belum tentu orang miskin. Meskipun berpendidikan rendah masyarakat tolitoli mememiliki kualitas yang baik. Sebagian besar masyarakat memiliki budaya kerja keras yang tinggi sehingga kualitas hidupnya menjadi baik. Ada juga budaya dalam masyarakat, untuk apa sekolah tinggi-tinggi yang penting tau cari uang dan menghitungnya sudah cukup. Idealnya sih jika kemiskinan suatu daerah rendah maka IPM juga tinggi. Sehingga masyarakat harus memiliki kesadaran dengan mendukung program-program pemerintah dalam meningkatkan kualitas kesehatan, pendidikan, dan pendapatan masyarakat. Apabila hal ini dilakukan maka akan terwujud jika kemiskinan rendah maka IPM akan tinggi.

Tak selamanya IPM rendah disuatu daerah maka kemiskinan juga akan tinggi. Hal ini tergantung adanya kasus-kasus tertentu atau adanya budaya tertentu dalam masyarakat. Sehingga adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan.
(I Made Budi Hartawan, S.Si,
penulis adalah Kasie Statistik Sosial
di Badan Pusat Statistik Kab. Tolitoli)

MENTAL MISKIN MASYARAKAT SULIT DILENYAPKAN



OPINI

“Mental Miskin” Masyarakat Sulit Dilenyapkan

Ibarat saudara kandung, mental miskin/merasa diri miskin sudah mendarah daging pada kebanyakan orang dalam hidup bermasyarakat. Betapa tidak, ketika mendengar adanya bantuan seperti beras sejahtera/rastra (dulunya raskin) banyak orang dari golongan menengah ke atas khususnya yang namanya tidak ada dalam daftar penerima manfaat (DPM) langsung protes dan berkata “ KOK SAYA TIDAK DAPAT, SAYA KAN ORANG MISKIN “. Dari zaman Indonesia belum merdeka sampai sekarang mental miskin masih ada dalam diri kebanyakan orang. Siapakah yang dapat mengubah atau melenyapkannya? Presidenkah? Gubernurkah? Bupatikah? Tokoh Agamakah? Malaikat dari surgakah? Kesadaran diri sendirilah yang dapat melenyapkan saudara kandung yang namanya “mental miskin” tersebut.

Berdasarkan data BPS angka kemiskinan Kabupaten Tolitoli tahun 2011 sebesar 15,03 persen atau sekitar 32.448 ribu jiwa, tahun 2015 turun menjadi 13,64 persen atau sekitar 30.700 jiwa. Dari data ini dapat diketahui bahwa orang miskin semakin berkurang, tetapi karena mental miskin sepertinya orang miskin semakin bertambah banyak.

Yang lagi menimbulkan polemik di tahun 2017 ini adalah turunnya data penerima rastra. Tahun 2017 penerima rastra di Kabupaten Tolitoli sebanyak 14.888 rumah tangga. Data ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu sebanyak 16.542 rumah tangga. Turunnya data penerima rastra harusnya dinilai positif oleh masyarakat yang berarti berkurangnya orang miskin di Kabupaten Tolitoli. Sebaliknya angka ini menimbulkan  polemik ditengah masyarakat, mereka beranggapan bahwa data tersebut salah karena banyak yang berpendapat orang mampu dapat rastra sedangkan saya orang miskin tidak dapat. Bahkan aparat pemerintah yang notabene tau dan bahkan ikut terlibat dalam proses verifikasi dan validasi data juga menyatakan bahwa data salah dan mengkambinghitamkan suatu oknum tertentu. Terlepas dari benar atau tidaknya mengenai turunnya angka penerima rastra tersebut, mental miskin yang sudah mendarah daging dalam diri kebanyakan oranglah yang bertanggungjawab menimbulkan polemik dalam masyarakat dan harus dilenyapkan sesegera mungkin. Bagaimana caranya? Membangun kesadaran diri dengan kekuatan keyakinan bahwa kita bukanlah orang miskin yang selalu mengharapkan uluran tangan dari pihak lain.

Akhirnya, mental miskin bukanlah suatu hal yang mustahil untuk dilenyapkan. Ibarat film mission imposible, sesulit apapun permasalahan pasti ada solusinya. Akan tetapi tanpa kesadaran diri yang tinggi bukan tidak mungkin kota kita akan penuh dengan orang yang menyebut diri mereka miskin.

(I Made Budi Hartawan, S.Si,
penulis adalah Kasie Statistik Sosial
di Badan Pusat Statistik Kab. Tolitoli)

Silaturahmi di BPS Kab. Donggala

acara rutin tiap jam 12.00 siang di BPS Kab. Donggala